Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan iklim berkelindan erat dengan pemanfaatan sumber daya alam. Di era otonomi, daerah diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sumberdaya alamnya. Di Kalimantan Timur, dengan pertimbangan untuk pembangunan, Pemerintah Daerah telah mengeluarkan berbagai izin yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Proses desentralisasi kehutanan di Indonesia seiring dengan era Otonomi Daerah dan upaya untuk mendorong proses devolutif memberi ruang besar bagi parapihak di level lokal untuk berperan lebih aktif dalam mengelola sumber daya yang ada, baik untuk kepentingan setempat ataupun berpartisipasi dalam mendukung kepentingan nasional dan bahkan global. Pembangunan ekonomi Kalimantan Timur pada era 70-90an bergantung pada sektor kehutanan, dengan laju pertumbuhan ekonomi 7,42%. Sejak tahun 1990 hingga 2010, pembangunan ekonomi ditopang oleh industri pertambangan, terutama dengan adanya eksploitasi tambang minyak bumi dan gas alam, serta pertambangan batu bara. Pada periode 1990-2000, tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lebih rendah, yaitu maksimal sebesar 5,71%. Satu dekade berikutnya, sektor pertambangan non-migas, terutama batu bara, menggeser posisi sektor pertambangan migas dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB). Indonesia dan Kalimantan Timur harus diakui turut berkontribusi terhadap pemanasan global melalui peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yaitu Indonesia termasuk penghasil emisi terbesar ke-6 di dunia, sementara Kalimantan Timur sendiri penghasil emisi terbesar ke-6 secara nasional. Penyumbang emisi GRK di Kalimantan Timur sampai tahun 2015 didominasi oleh sektor berbasis lahan berupa alihguna dan degradasi hutan (64%), energi (17%), limbah (17%) dan pertanian (2%). Apabila Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur tidak mengelola perubahan iklim maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti bencana air meningkat, kekeringan, tanah longsor, persedian sumber daya mineral dan energi yang tidak bisa diperbaharui terus menipis, produksi pangan daerah menurun, pasokan pangan dari luar menurun, serta program pembangunan pertanian dalam arti luas gagal. Peran aktif pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan terkait perubahan iklim merupakan suatu keharusan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi arahan bagi Provinsi/Kabupaten/Kota, sektor, dan para pemangku kepentingan di Kalimantan Timur dalam mewujudkan pembangunan rendah emisi dan meningkatkan resiliensi daerah dan sektor terhadap dampak perubahan iklim. Sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah yang memiliki daya ikat (legal binding) maka pada 25 Juli 2017 Bappeda Provinsi Kalimantan Timur menggelar acara pertemuan dengan Tim Penyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan Iklim. Pertemuan ini dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan kesepakatan dari para pihak dalam hal ini adalah lembaga/institusi dan individu yang telah disebutkan di dalam Surat Keputusan Tim Penyusun Raperda Pengelolaan. Tim Penyusun Raperda Pengelolaan Perubahan Iklim ini dibentuk dengan SK Gubernur Nomor 188.44/K.210/2017. Diskusi pertemuan ini dibuka oleh Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, dilanjutkan dengan Penyampaian Pengantar dari Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur dan selanjutnya untuk proses diskusi di Pimpin oleh Kepala Bidang Ekonomi Provinsi Kalimantan. Pembahasan Raperda Pengelolaan Perubahan Iklim ini berlangsung dengan baik dan banyak masukan serta perubahan – perubahan yang telah dilakukan untuk perbaikan, dari mulai redaksional, penggunaan istilah hingga substansi dari Raperda itu sendiri. Perubahan – perubahan yang telah dilakukan tersebut telah disepakati bersama oleh Tim Penyusun Raperda. Dari Pertemuan diskusi pembahasan terhadap Raperda Pengelolaan Perubahan Iklim dan Naskah Akademik Pengelolaan Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017 tersebut, beberapa poin penting yang telah menjadi kesepakatan adalah sebagai berikut: